Selasa, 03 November 2015

LOMBA APRESIASI SASTRA SD;MI TINGKAT KABUPATEN PATI TAHUN 2015


Pemerintah Kabupaten Pati Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Jalan Panglima Sudirman N0 1 B Kode Pos 59113 Telepon (0295)381421 Faksimile (0295)381421
e-mail : disdik.pati@yahoo.com Website: disdik.patikab.go.id
Pati,23 Oktober 2015
Kepada Yth.Kepala UPT Dinas Pendidikan Kecamatan se-Kabupaten Pati
Dengan hormat kami beritahukan bahwa dalam rangka meningkatkan kompetensi Kebahasaan bagi peserta didik jenjang sekolah dasar se Kabupaten Pati,Dinas Pendidikan akan menyelenggarakan Lomba Apresiasi Sastra bagi peserta didik SD/MI tingkat Kabupaten Pati Tahun 2015.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas,perlu kami sampaikan hal-hal sebagai berikut :

1.Jenis Lomba
a.Baca Puisi Putra
b.Baca Puisi Putri
c.Bercerita Bahasa Indonesia Putra
d.Bercerita Bahasa Indonesia Putri
d.Bercerita Bahasa Jawa putra
e.Bercerita Bahasa jawa putri

2.Waktu dan tempat Lomba
Hari : Rabu
Tanggal : 11 November 2015
Jam : 07.30 sampai selesai
Tempat : SD Negeri Pati Kidul 1 Pati,Jalan Panglima Sudirman No.96 Pati

3.Ketentuan lomba
Ketentuan Umum
a.Lomba dilaksanakan dalam rangka pembinaan bahasa melalui jalur pendidikan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Pati
b.Lomba tidak terbuka untuk umum dan diikuti oleh peserta didik pada jenjang pendidikan SD/MI sebagai wakil dari Kecamatan di wilayah kabupaten Pati
c.Setiap Kecamatan hanya diperkenankan mengirimkan 1(satu) peserta pada masing-masing jenis lomba.

Ketentuan Khusus
Baca Puisi
a.Ketentuan Teknis
1.Setiap peserta hanya membacakan satu puisi dari 5 (lima ) judul yang disediakan oleh panitia,berdasarkan pilihan peserta
2.Tanpa pengeras suara
3.Tanpa alat pengiring baik yang dimainkan sendiri maupun oleh orang lain
4.Memakai seragam Osis
5.Kriteria penilaian :
a.penjiwaan (interpretasi teks)

b.vokal (artikulasi,intonasi,karakter suara,tempo,dan kekuatan (power)suara
c.gerak (mimik dan gesture)
d.Totalitas (penyajian secara lisan,ekspresi,fisik,keutuhan)

b.Materi Puisi
1.Menatap Merah Putih karya Supardi Djoko Darmono

MENATAP MERAH PUTIH

Menatap merah putih
melambai dan menari – nari di angkasa

kibarannya telah banyak menelan korban
nyawa dan harta benda

berkibarnya  merah putih
yang menjulang tinggi di angkasa

selalu teriring senandung lagu Indonesia Raya
dan tetesan air mata
dulu, ketika masa perjuangan pergerakan kemerdekaan
untuk mengibarkan merah putih
harus diawali dengan pertumpahan darah
pejuang yang tak pernah merasa lelah
untuk berteriak : Merdeka!

menatap
merah putih adalah perlawanan melawan angkara murka
membinasakan penidas dari negeri tercinta
indonesia

menatap
merah putih adalah bergolaknya darah
demi membela kebenaran dan azasi manusia
menumpas segala penjajahan
di atas bumi pertiwi

menatap
merah putih adalah kebebasan
yang musti dijaga dan dibela
kibarannya di angkasa raya

berkibarlah terus merah putihku
dalam kemenangan dan kedamaian

2.Kerawang Bekasi karya Chairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
ADVERTISEMENT
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi
Chairil Anwar (1948)


3.Diponegoro karya Chairil Anwar

Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang - See more at: http://nzsidik.blogspot.co.id/2013/05/puisi-diponegoro-karya-chairil-anwar.html#sthash.B407VdzG.dpuf
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang
Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api
Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.
MAJU
Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.
Sekali berarti
Sudah itu mati.
MAJU
Bagimu Negeri
Menyediakan api.
Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai
Maju
Serbu
Serang
Terjang - See more at: http://nzsidik.blogspot.co.id/2013/05/puisi-diponegoro-karya-chairil-anwar.html#sthash.B407VdzG.dpuf

4.Do'a Seorang Serdadu Perang karya WS.Rendra
Tuhan ku
wajah Mu membayang di kota terbakar
dan firman Mu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal
anak menangis kehilangan bapak
tanah sepi kehilangan lelakinya
bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
waktu itu, Tuhan ku
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku memasukkan sangkurku
malam dan wajahku adalah satu warna
dosa dan nafasku adalah satu udara
tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari biarpun bersama penyesalan
apa yang bisa diucapkan oleh bibirku yang terjajah ?
sementara kulihat kedua tangan Mu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianati Mu
Tuhan ku
erat-erat kugenggam senapanku
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku


5.Gugur karya WS.Rendra
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya

Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya

Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya

Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Belumlagi selusin tindak
mautpun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata :
” Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang.”
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa

Orang tua itu kembali berkata :
“Lihatlah, hari telah fajar !
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya !
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menacapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata :
-Alangkah gemburnya tanah di sini!”

Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya. 

Bercerita Bahasa Indonesia
a.Ketentuan Teknis
1.Setiap peserta hanya menceritakan suatu cerita dari 4 (empat) judul yang disediakan oleh panitia berdasarkan pilihan peserta.
2.Tanpa Pengeras suara
3.Wajib membawakan cerita sesuai materi cerita dalam durasi waktu 5-6 menit
4.Pakaian dan perlengkapan disesuiakan dengan tema cerita
5.Kriteria penilaian
a.sikap
- pakaian dan alat bantu menggunakan bahan -bahan yang ramah lingkungan dan sesuai dengan tema cerita
-mimik wajah dan bahasa tubuh mencerminkan nilai dan karakter yang diusung oleh tema cerita
b.Pengetahuan kebahasaan
- Tata bahasa ,kosa kata dan ungkapan dipilih dan digunakan dengan baik dan benar
- Kalimat disampaikan dengan ucapan ,tekanan kata,dan intonasi yang baik dan benar
- Komunikasi dengan audien dan juri terjalin komunikatif,runtut,dan lancar
c.Ketrampilan berkreasi
- kreatifitas tampak dalam menafsirkan isi cerita
- kreatifitas tampak dalam mengembangkan isi cerita
-kreatifitas tampak dalam cara menyampaikan isi cerita

b.Materi Cerita
1.Ki Ageng Pandanaran
Di Kecamatan Bayat, Klaten, tepatnya di kelurahan Paseban, Bayat, Klaten terdapat Makam Sunan Bayat atau Sunan Pandanaran atau Sunan Tembayat yang memiliki desain arsitektur gerbang gapura Majapahit. Makam ini menjadi salah satu tempat wisata ziarah Wali Songo. Pengunjung dapat memarkir kendaraan di areal parkir serta halaman Kelurahan yang cukup luas.Sebelum menuju ke Makam , pengunjung melewati Pendopo,yang berada di depan Kelurahan Desa Paseban, di sebelah timur Pendopo, Pengunjung dapat membeli berbagai macam oleh oleh di Pasar Seni.  Setelah mendaki sekitar 250 anak tangga, akan ditemui pelataran dan Masjid. Pemandangan dari pelataran akan nampak sangat indah di pagi hari.
Sunan Bayat (nama lain: Pangeran Mangkubumi, Susuhunan Tembayat, Sunan Pandanaran (II), Ki Ageng Pandanaran, atau Wahyu Widayat) adalah tokoh penyebar agama Islam di Jawa yang disebut-sebut dalam sejumlah babad serta cerita-cerita lisan. Tokoh ini terkait dengan sejarah Kota Semarang dan penyebaran awal agama Islam di Jawa, meskipun secara tradisional tidak termasuk sebagai Wali Songo. Makamnya terletak di perbukitan (”Gunung Jabalkat”) di wilayah Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah, dan masih ramai diziarahi orang hingga sekarang. Dari sana pula konon ia menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat wilayah Mataram. Tokoh ini dianggap hidup pada masa Kesultanan Demak (abad ke-16).
Terdapat paling tidak empat versi mengenai asal-usulnya, namun semua sepakat bahwa ia adalah putra dari Ki Ageng Pandan Arang, bupati pertama Semarang. Sepeninggal Ki Ageng Pandan Arang, putranya, Pangeran Mangkubumi, menggantikannya sebagai bupati Semarang kedua. Alkisah, ia menjalankan pemerintahan dengan baik dan selalu patuh dengan ajaran – ajaran Islam seperti halnya mendiang ayahnya. Namun lama-kelamaan terjadilah perubahan. Ia yang dulunya sangat baik itu menjadi semakin pudar. Tugas-tugas pemerintahan sering pula dilalaikan, begitu pula mengenai perawatan pondok-pondok pesantren dan tempat-tempat ibadah.
Sultan Demak Bintara, yang mengetahui hal ini, lalu mengutus Sunan Kalijaga dari Kadilangu, Demak, untuk menyadarkannya. Semula Ki Ageng Pandanaran adalah orang yang selalu mendewakan harta keduniawian. Berkat bimbingan dan ajaran-ajaran Sunan Kalijaga, Ki Ageng Pandanaran bisa disadarkan dari sifatnya yang buruk itu yang akhirnya Ki Ageng Pandanaran berguru kepada Sunan Kalijaga dan menyamar sebagai penjual rumput. Akhirnya, sang bupati menyadari kelalaiannya, dan memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatan duniawi dan menyerahkan kekuasaan Semarang kepada adiknya.
Sunan Kalijaga menyarankan Ki Ageng Pandanaran untuk berpindah ke selatan, tanpa membawa harta, didampingi isterinya, melalui daerah yang sekarang dinamakan Salatiga, Boyolali, dan Wedi. Namun, diam-diam tanpa sepengetahuannya, sang istri membawa tongkat bambu yang di dalamnya dipenuhi permata. Dalam perjalanan mereka dihadang oleh kawanan perampok yang dipimpin oleh yang namanya sekarang disebut Syekh Domba.
Maka terjadilah perkelahian dan untung saja pasangan suami istri ini berhasil mengatasinya akhirnya Allah SWT murka kemudian dia berubah menjadi sebuah mahluk dengan perawakan manusia tetapi berkepala domba. Setelah terjadi demikian, akhirnya dia menyadari dan menyesal dengan segala perbuatannya, kemudian menyatakan diri sebagai pengikut Sunan Pandanaran yang kemudian dibawa oleh Sunan Pandanaran ke gurunya yaitu Sunan Kalijaga yang akhirnya kepala dia berubah kembali menjadi kepala manusia seperti semula. Setelah itu Syekh Domba diberi tugas untuk mengisi tempat wudhu pada padasan atau gentong pada masjid yang berada pada puncak bukit Jabalkat, Bayat.
Akhirnya Ki Ageng Pandanaran berhasil sampai dan menetap di Tembayat, yang sekarang bernama Bayat, dan menyiarkan Islam dari sana kepada para pertapa dan pendeta di sekitarnya. Karena kesaktiannya ia mampu meyakinkan mereka untuk memeluk agama Islam. Oleh karena itu ia disebut sebagai Sunan Tembayat atau Sunan Bayat.

2.Kisah Di Gua Kiskinda
Alkisah, di Pegunungan Menoreh, Kulonporogo, terdapat sebuah gua bernama Kiskendo. Gua tersebut merupakan istana kerajaan dua makhluk kakak beradik yang bernama Mahesa Sura dan Lembu Sura. Mereka adalah pemimpin berbagai macam binatang buas di daerah itu. Keduanya memiliki tubuh yang tinggi dan besar, berbadan manusia, tapi berkepala binatang. Kakak beradik itu juga memiliki kesaktian yang luar biasa. Konon, jika salah seorang di antara mereka yang meninggal, ia dapat hidup kembali setelah tubuhnya dilangkahi oleh saudaranya yang hidup. Pada suatu malam, Mahesa Sura bermimpi sedang bersanding di pelaminan bersama Dewi Tara, putri Sang Bathara Indra dari Kahyangan. Keesokan hari, Mahesa Sura bermaksud mewujudkan mimpi itu. Ia pun meminta adiknya, Lembu Sura untuk melamar Dewi Tara di Negeri Kahyangan. Betapa terkejut Lembu Sura saat mendengar permintaan kakaknya itu.“Jangan, Kanda! Dewi Tara adalah bidadari yang paling cantik di Kahyangan. Bagaimana mungkin dewa-dewa akan menerima lamaran makhluk seperti kita ini. Sebaiknya, urungkanlah niat Kanda itu!” ujar Lembu Sura. “Tidak, Adikku! Mereka pasti takut menolak lamaranku karena akulah yang paling sakti di Jagat Raya ini,” kata Mahesa Sura dengan sombong. Mendengar tekad kuat kakaknya itu, Lembu Sura terpaksa berangkat ke Kahyangan untuk melamar Dewi Tara. Benar apa yang dikatakan Lembu Sura. Setibanya di Kahyangan, lamaran kakaknya langsung ditolak oleh para dewa. Akhirnya Lembu Sura  kembali ke bumi tanpa membawa hasil. Alangkah marah Mahesa Sura saat mendengar kabar buruk tersebut. Ia tidak bisa menerima penolakan itu. “Kurang ajar! Para dewa itu telah menghinaku. Mereka harus diberi pelajaran,” ujar Mahasa Sura dengan geram.
Pada saat itu pula Mahesa Sura mengajak adiknya untuk menyerang Negeri Kahyangan. Begitu tiba di Kahyangan, mereka langsung mengamuk. Tak satupun dari para dewa yang mampu mencegah perbuatan biadab kakak beradik itu karena kesaktian mereka yang luar biasa. Setelah menghacurkan seluruh isi Kahyangan, Mahesa Sura membawa Dewi Tara ke bumi untuk dinikahi. Sementara itu, para dewa segera bermusyawarah untuk mencari cara agar dapat menumpas Mahesa Sura dan Lembu Sura serta membawa Dewi Tara kembali ke Kahyangan. Akhirnya, mereka bersepakat untuk menggunakan kesaktian kadewatan yang bernama Aji Pancasona. Menurut mereka, hanya itulah satu-satunya cara yang dapat mengalahkan Mahesa Sura dan adiknya. Namun, kesaktian yang maha dahsyat itu hanya bisa digunakan oleh orang yang berhati luhur, suci dan mampu mengendalikan nafsu sehingga ajian itu tidak digunakan secara sewenang-wenang. Setelah bermusyawarah, para dewa bersepakat untuk menyerahkan kesaktian Aji Pancasona tersebut kepada seorang pertapa bernama Subali. Ia adalah putra Resi Gotama yang sedang bertapa di Suryapringga. Sudah bertahun-tahun Subali bertapa di tempat itu dengan cara mematikan seluruh raga dan memusatkan seluruh pancaran jiwanya kepada sang Pencipta untuk memohon ampunan atas segala perbuatannya. Dalam keadaan konsentrasi penuh, tiba-tiba Subali terbangun dari pertapaan karena kedatangan Bathara Guru bersama Bathara Narada dan para dewa untuk menemuinya.“Wahai, Subali! Aku akan memenuhi segala permohonanmu, tapi dengan syarat terlebih dahulu kamu harus menumpas angkara murka yang bersemayam di tubuh Mahesa Sura dan Lembu Sura,” ujar Bathara Guru. Tanpa berpikiran panjang, Subali langsung menyanggupi tawaran menarik tersebut.“Baik Bathara Guru! Saya bersedia memenuhi syarat itu. Tapi, bagaimana caranya saya bisa melakukannya? Bukankah kedua makhluk kakak beradik itu sangat sakti?” tanya Subali. “Tenang Subali! Kami akan memberimu Aji Pancasona. Tapi dengan syarat pula, kamu harus berjanji untuk mempergunakannya bagi perdamaian di alamini,” ujar Bathara Guru. Subali pun berjanji dengan sunguh-sungguh untuk menepati janji tersebut. Setelah menerima ajian pamungkas itu, Subali kemudian mengajak adiknya Sugriwa untuk membantu memerangi Mahesa Sura dan Lembu Sura.
Setibanya di mulut Gua Kiskendo, Subali meminta adiknya untuk tetap waspada dan berjaga-jaga di depan mulut gua. “Adikku, kamu di sini saja! Biar aku saja yang masuk ke dalam gua untuk menghadapi kedua makhluk itu,” ujar Subali. Setelah itu, Subali segera masuk ke dalam Gua Kiskendo. Tak berapa lama kemudian, ia sudah kembali membawa Dewi Tara yang dirampas dari tangan Mahesa Sura. Sementara itu, Subali akan menyelesaikan pertarungan dengan kedua penguasa Gua Kiskendo itu. Sebelum kembali masuk ke dalam gua, ia berpesan kepada adiknya. “Adikku, tolong kamu jaga Dewi Tara di sini! Jika darah yang mengalir keluar dari Gua Kiskendo berwarnah merah, maka akulah memenangi pertarungan itu. Namun, jika darah berwarna putih yang mengalir, maka itu pertanda aku yang kalah. Jika peristiwa yang kedua ini terjadi, maka segeralah kamu menutup gua ini dengan batu besar!” ujar Subali. Ketika Subali masuk di dalam gua, maka terjadilah pertarungan sengit melawan Mahesa Sura dan Lembu Sura. Meskipun tubuhnya kecil, Subali dapat mengimbangi perlawanan kedua musuhnya yang bertubuh besar itu. Justru dengan tubuhnya yang kecil, ia dapat menghindar dan menyerang dengan gesit. Dengan Aji Pancasona, ia berhasil membinasakan Lembu Sura. Namun, betapa terkejutnya ia ketika melihat Lembu Sura hidup kembali setelah tubuhnya dilangkahi oleh Mahesa Sura. Demikian pula ketika ia berhasil membinasakan Mahesa Sura dan bisa hidup kembali setelah tubuhnya dilangkahi oleh Lembu Sura. Subali sangat heran dan bingung melihat kesaktian kedua musuhnya. Setelah berpikir keras, akhirnya ia menemukan satu cara untuk menghadapinya yaitu membinasakan mereka secara bersamaan. Dengan cara itu, mereka tidak bisa lagi saling melangkahi satu sama lain. Subali kemudian mengubah tubuhnya menjadi besar sebesar tubuh Mahesa Sura dan Lembu Sura. Pada saat yang tepat, ia memegang tanduk kedua musuhnya lalu membenturkannya. Tak ayal lagi, kepala kedua makhluk tersebut pecah sehingga darah bercampur otak yang berwarna putih mengalir keluar gua. Saat melihat darah yang berwarna merah bercampur warna putih, Sugriwa yang berada di depan mulut gua mengira saudaranya tewas bersama salah satu dari musuhnya. Dengan cepat, ia menutup mulut gua itu dengan batu besar. Setelah itu, ia segera meninggalkan tempat itu dan membawa Dewi Tara ke Kahyangan. Sesampai di sana, mereka disambut oleh para dewa dengan perasaan suka cita. Para dewa merasa gembira karena Dewi Tara dapat kembali ke Kahyangan dengan selamat. Namun, mereka juga bersedih karena Subali tewas dalam pertarungan itu. Sugriwa yang berhasil membawa pulang Dewi Tara dianugerahi hadiah yaitu mempersunting bidadari cantik itu. Sebenarnya, Sugriwa merasa berat menerima hadiah tersebut karena merasa bahwa yang lebih berhak menerimanya adalah Subali. Namun, karena yakin kakaknya telah tewas, ia pun bersedia menerima hadiah itu. Tak berapa lama kemudian, pesta perkawinan Sugriwa dan Dewi Tara pun dilangsungkan. Sementara itu, Subali yang baru saja mengalahkan Mahesa Sura dan Lembu Sura terperanjat ketika melihat pintu Gua Kiskendo tertutup rapat dengan batu besar. Merasa dihianati oleh adiknya, ia langsung naik pitam dan marah kepada Sugriwa. Dengan kesaktiannya, ia menendang batu besar yang menutupi mulut gua hingga hancur berkeping-keping. Setelah itu, ia segera mencari Sugriwa ke Negeri Kahyangan. Sesampainya di sana, ia mendapati Sugriwa sedang bersanding di pelaminan bersama Dewi Tara. Melihat hal itu, Subali semakin geram kepada adiknya.“Hai, Sugriwa! Dasar Adik tidak tahu diri! Diberi amanat malah berhianat,” tuduh Subali dengan geram. Baru saja Sugriwa akan menjelaskan kejadian yang sebenarnya, Subali langsung menghajarnya. Sugriwa pun berusaha mempertahankan diri karena merasa dirinya tidak bersalah. Akhirnya, pertarungan sengit antara kedua saudara itu tidak terelakkan lagi. Pertarungan itu tidak akan berakhir sekiranya sang ayah, Resi Gotama tidak segera melerai mereka. Setelah mendengar penjelasan dari Sugriwa mengenai pemicu terjadinya pertarungan tersebut, Resi Gotama menjadi marah kepada Subali karena telah membuat malu keluarga dan mengaku berdarah putih. Menurut Resi Gotama, tidak ada manusia di dunia yang berdarah putih. Oleh karena ketakaburannya itu, Subali dikutuk oleh ayahnya sendiri. Kutukan itu disebutkan dalam sabdanya bahwa Subali akan mati oleh kesatria titisan Bathara Wisnu bernama Prabu Rama Wijaya. Kutukan itu kelak terbukti dengan matinya Subali terkena panah sakti Prabu Rama Wijaya. Menurut cerita, sebelum menghembuskan nafas terakhir, Subali sempat mengucapkan terima kasih kepada Rama karena telah membebaskan nafsu amarah yang melekat pada dirinya. Sementara itu, Sugriwa mendapat restu dari Resi Gotama untuk tetap menikah dengan Dewi Tara. Setelah menikah, Sugriwa membangun kerajaan yang diberi nama Pancawati di Gua Kiskendo.
Demikian cerita kisah Gua Kiskendo daerah Kulon Progo, Yogyakarta. Hingga saat ini, masyarakat setempat masih meyakini bahwa Gua Kiskendo merupakan tempat pertarungan antara Subali dengan Mahesa Sura dan Lembu Sura. Kisah atau alur cerita tentang peristiwa tersebut digambarkan pada dua relief di depan mulut gua. Keyakinan masyarakat setempat tentang peristiwa itu juga dibuktikan dengan adanya sebuah batu yang menyerupai lidah di gua itu. Batu itu diyakini sebagai lidah Mahesa Sura yang dipotong oleh Subali. Selain itu, ada juga yang disebut Babat Kandel, yaitu bebatuan yang menyerupai usus manusia. Menurut cerita, Babat Kandel itu merupakan isi perut Mahesa Sura yang dibuang oleh Subali.
Adapun pesan moral yang dapat dipetik dari cerita diatas adalah bahwa seseorang tidak boleh bersifat takabur seperti Subali yang mengaku berdarah putih. Akibatnya, ia mendapat kutukan dari ayahnya dan gagal mempersunting Dewi Tara. Sifat takabur ini juga digamabrakan pada perilaku Mahesa Sura yang mengaku bahwa dirinyalah yang paling sakti di Jagad Raya. Akibatnya ia pun tewas dengan Aji Pancasona melalui tangan Subali.

3.Joko Budug dan Putri Kemuning

Jaka budug adalah seorang pemuda miskin yang mengidap penyakit budug (sejenis penyakit kulit yaitu kudis). Sebab itulah dia dipanggil dengan sebutan Jaka Budug.. Meski kondisi Jaka Budug demikian, tidak ada yang mengira bahwa Jaka Budug bisa menikahi putri raja yang sangat anggun dan rupawan, yaitu putri dari Prabu Aryo Seto dari Kerajaan Ringin Anom. Secara logika, apakah mungkin Putri Kemuning yang begitu cantik mau menikah dengan seorang pemuda miskin yang memiliki penyakit kulit (budug).
Alkisah, Jaka Budug bisa menikahi Putri Kemuning lantaran suatu hari putri kemuning secara mendadak mengidap penyakit yang aneh. Tubuh Putri Kemuning yang semula berbau harum tiba-tiba mengeluarkan bau yang tidak enak. Melihat kondisi putrinya itu, Sang Prabu menjadi sedih karena kawatir tak seorangpun pangeran atau pemuda yang mau menikahi putrinya itu. Berbagai upaya telah dilakukan oleh sang prabu, seperti memberikan obat-obatan tradisional, namun penyakit sang putrid belum juga sembuh. Sang Prabu juga mengundang sluruh tabib yang ada di negerinya, namun tak seorangpun yang mampu menyembuhkan penyakit sang putri.
Hati Prabu Aryo Seto semakin resah. Ia sering melamun memikirkan nasib malang yang sedang menimpa putrid semata wayangnya hingga suatu ketika tiba-tiba terlintas dalam pikirannya untuk melakukan semedi kepada Tuhan dengan harapan mendapatkan petunjuk untuk kesembuhan penyakit langka yang menimpa putrinya. Pada saat tengah malam, Sang Prabu dengan tekad kuat dan hati yang suci melakukan semedi di dalam sebuah ruang tertutup di dalam istana. Pada saat khusu’ bersemedi secara tiba-tiba Sang Prabu mendengar bisikan yang sangat jelas di telinganya.
“Dengarlah, wahai Prabu Aryo Seto! Satu-satunya obat yang mampu menyembuhkan penyakit yang diderita putrimu adalah daun sirna ganda. Daun itu hanya tumbuh di dalam gua di kaki Gunung Arga Dumadi yang dijaga oleh seekor ular naga sakti dan selalu menyemburkan api dari mulutnya” Begitulah pesan yang disampaikan oleh suara gaib itu. Keesokan harinya, Prabu Aryo Seto segera mengumpulkan seluruh rakyatnya di alun-alun untuk mengdakan suatu sayembara.
“Wahai, seluruh rakyatku! Kalian semua tentu sudah mengetahui perihal penyakit yang sedang menimpa putrid semata wayangku. Setelah semalam semedi, aku mendapatkan petunjuk bahwa putriku dapat disembuhkan dengan menggunakan daun sirna ganda yang tumbuh di kaki Gunung Arga Dumadi. Barang siapa yang dapat mempersembahkan duan sirna ganda untuk putriku, jika ia laki-laki akan kunikahkan dengan putriku. Namun, jika ia perempuan, ia akan kuangkat menjadi anakku,’’ Ujar Sang Prabu di depan rakyatnya.
Mendengar pengumuman itu, seluruh rakyat Kerajaan Ringin Anom menjadi gempar. Berita tentang sayembara itu pun tersebar hingga ke seluruh pelosok negeri. Banyak warga yang tidak berani mengikuti sayembara tersebut karena mereka semua tahu bahwa gua itu dijaga oleh seekor naga yang sakti dan sangat ganas. Bahkan, sudah banyak warga yang menjadi korban keganasan naga itu. Meski demikian, banyak pula warga yang memberanikan diri untuk mengikuti sayembara tersebut karena tergiur oleh hadiah yang dijanjikan Sang Prabu. Setiap orang pasti akan senang jika bisa menjadi menantu atau pun anak angkat sang raja.
Ada salah seorang pemuda yang ingin sekali mengikuti sayembara tersebut yaitu bernama Jaka Budug. Jaka budug adalah pemuda miskin yang tinggal di sebuah gubug reyot bersama ibunya di sebuah desa terpencil di dalam kawasan kerajaan Ringin Anom. Keinginan mengikuti sayembara itu menimbulkan sedikit ketakutan Jaka Budug karena ia merasa malu dengan kondisi tubuhnya.
Sementara itu, para peserta sayembara telah berkumpul di kaki Gunung Arga Dumadi untuk menguji kesaktian mereka. Sejak hari pertama hingga keenam sayembara itu dilangsungkan, belum ada satupun peserta yang mampu mengalahkan naga sakti itu. Mendengar kabar itu, Jaka Budug pun semakin gelisah apakah dia mampu untuk mengalahkan naga itu atau tidak.
Pada hari ketujuh, Jaka Budug dengan tekadnya yang kuat memberanikan diri dating menghadap kepada Sang Prabu. Di hadapan Prabu Aryo Seto, ia memohon izin untuk ikut dalam sayembara itu. Mulanya Prabu Aryo Seto hanya diam dan meragukan akan keikutsertaan Jaka Budug dalam sayembara itu.Karena teringat akan kesembuhan putrid semata wayangnya akhirnya Prabu Aryo Seto memberikan kesempatan Jaka Budug untuk mengikuti sayembara yang daiadakannya. Jaka Budug pun berangkat ke Gunung Arga Dumadi dengan tekad yang membara. Ia harus mengalahkan naga itu dan membawa pulang daun sirna ganda. Setelah berjalan cukup jauh, sampailah ia di kaki Gunung Arga Dumadi. Dari kejauhan, ia melihat semburan-semburan api yang keluar dari mulut naga sakti penghuni goa. Ia sudah tidak sabar ingin membinasakan naga itu dengan keris pusaka peninggalan ayahnya.
Ketika naga itu lengah, Jaka Budug segera menghujamkan kerisnya ke perut naga itu. Darah segar pun memancar memancar dari tubuh naga itu dan mengenai tangan Jaka Budug. Sungguh ajaib, tangan Jaka Budug yang terkena darah sang naga itu seketika menjadi halus dan bersih dari penyakit budug .
Melihat keajaiban itu, Jaka Budug semakin bersemangat ingin membinasakan naga itu. Dengan gesitnya, ia kembali menusukkan kerisnya ke leher naga itu hingga darah memancar dengan derasnya. Naga sakti itu pun tewas seketika. Jaka budug segera mengambil darah naga itu lalu mengusapkan ke seluruh tubuhnya yang terkena penyakit budug. Seketika itu pula, seluruh tubuh nya menjadi bersih dan halus. Kini Jaka Budug berubah menjadi pemuda yang sangat tampan.
Setelah memetik beberapa lembar daun sirna ganda di dalam gua, Jaka Budug segera pulang ke istana dengan perasaan gembira. Setelah tibanya di sana, Prabu Aryo Seto tercengang ketika melihat Jaka Budug yang kini kulitnya menjadi bersih dan wajahnya berseri-seri. Sang Prabu hamper tidak percaya jika pemuda di hadapannya itu Jaka Budug. Namun setelah Jaka Budug menceritakan semua peristiwa yang dialaminya di Kaki Gunung Argo Dumadi, barulah sang Prabu percaya dan terkagum-kagum.
Jaka Budug kemudian mempersembahkan daun sirna ganda yang diperolehnya kepada sang Prabu. Sungguh ajaib, Putri Kemuning kembali sehat setelah memakan daun sirna ganda itu. Kini, tubuh Sang putrid kembali berbau harum bagaikan bunga kemuning. Dalam sayembara itu akhirnya sang prabu menetapkan Jaka Budug sebagai pemenang. Sesuai janjinya, sang prabu menikahkan Jaka Budug dengan Putri Kemuning. Dan selang berapa lama setelah pernikahan putrinya, Sang Prabu Aryo Seto meninggal dunia. Setelah itu Jaka Budug pun dinobatkan menjadi pewaris tahta kerajaan Ringin Anom. Jaka Budug dan Putri Kemuning pun hidup berbahagia.

4.Asal Mula Pulau Nusa

Di Pulau Nusa dahulu kala, hiduplah seorang laki-laki bernama Nusa. Ia bersama keluarganya di Kalimantan Tengah. Pekerjaan mereka menangkap ikan dan bercocok tanam di Sungai Kahayan. sewaktu kemarau panjang melanda tanaman susah tumbuh, tidak dapat tumbuh dengan baik dan ikan-ikannya pun semakin berkurang, sehingga mereka harus menyimpan bahan makanan sebelumnya. Keadaan itu membuat mereka semakin sulit untuk hidup di daerah sana sehingga mereka memutuskan untuk pudah ke sebuah dusun bernama udik.
Setelah mempersiapkan bekal seadanya, pergilah mereka menuju dusun udik dengan menggunakan sampan. Beberapa hari mereka melakukan perjalanan dan menyusuri Sungai Rungan (anak Sungai Kahayan), namun ditengah perjalanan itu perbekalan mereka habis dan mereka beristirahat di sebuah gua dekat sungai. Karena perbekalan sudah menipis mereka mencari makan didekat sana. Beberapa saat kemudian, Nusa sudah kembali membawa sebutir telur yang besarnya dua kali telur angsa.
“Hei! Aku membawa makanan enak, kita bisa makan kenyang sekarang. Dik, tolong rebus telur ini!” pinta Nus.
Tetapi karena istri dan adiknya tidak mau memakan telur tersebut, maka Nusa memakan sendiri telur tersebut. Keesokan harinya, seluruh tubuhnya dipenuhi dengan bintik – bintik merah. Seluruh keluarganya kebingungan melihat keadaan Nusa. Keadaan Nusa semakin mengerikan pada waktu siang. Sisik keluar di seluruh tubuhnya, makin lama tubuhnya berubah menjadi ular dan mirip seperti naga, tetapi kepalanya masih berwujud manusia.
Seluruh keluarganya terdiam dan tidak tahu harus berbuat apa. Rasa sedih, dan perasaan perihatin menyelubungi keluarga mereka. Tubuh Nusa makin lama makin membesar, hingga keesokan harinya tubuh Nusa benar – benar berubah menjadi seekor ular Naga. Panjangnya sudah mencapai sekitar duapuluh lima depa, dan besarnya tiga kali pohon kelapa.
Menjelang siang, Istri bersama dengan adiknya meminta para warga untuk menolong mereka memasukkan Nusa ke dalam Sungai, karena Nusa terus menjerik kesakitan terkena sinar matahari. Sewaktu akan masuk ke Sungai istri Nusa meteskan air mata, serasa ia tidak akan bertemu suaminya lagi. Di saat – saat terakhir Nusa berpesan kepada istrinya.
“Nanti malam akan ada bencada di sini, yaitu Air sungai ini akan meluap. Suru para warga yang di sekitar sini untuk pergi menyelamatkan diri. Abang akan menuju ke Sungai Kahayan dan Abang akan tinggal untuk selamanya,” sambil meneteskan air mata. Setelah malam tiba, Hal yang dikatakan Nusa benar – benar terjadi.
Pada saat itu, Nusa yang berusaha menyelamatkan diri akhirnya tibalah dia di muara Sungai Kahayan. Ia menetap di sebuah teluk yang agak dalam. Karena terdapat banyak jenis ikan yang hidup di sana, ia menjadi senang dan tidak perlu khawatir kekurangan makanan. Namun bagi ikan – ikan Nusa adalah sebuah ancaman bagi mereka.
Ikan Jelawat, Ikan Saluang (sejenis ikan teri), dan berbagai jenis ikan lainnya juga berkumpul disana dan mendiskusikan cara untuk mengusir Naga Nusa. Rencana dan persiapan pun selesai. Keesokan harinya, Ikan Saluang mulai menjalankan rencananya. Ia diam termenung seorang diri di suatu tempat yang tidak jauh dari naga itu berada. Ia berpikir, naga itu tidak mungkin memangsa tubuhnya yang kecil itu, karena tentu tidak akan mengenyangkannya. Tidak lama kemudian, naga itu pun datang menghampirinya.
Ikan Saluang menceritakan ada seekor naga yang tinggal di teluk, dia sangat besar dan hebat. Dia menantang Naga Nusa untuk beradu duel. Mendengar hal itu Naga Nusa langsung marah dan menyetujui tantangan tersebut.
Keesokan harinya, Naga Nusa pun datang menunggu di tempat itu. Sementara Ikan Saluang, melainkan bersembunyi di balik bebatuan bersama teman-temannya sambil memerhatikan gerak-gerik Naga Nusa yang sedang mondar-mandir menunggu kedatangan musuhnya.
Ikan Saluang pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Pelan-pelan ia mendekati ekor Naga Nusa, lalu berteriak dengan keras.
“Tuanku! Musuh datang!”
Mendengar teriakan itu, Naga Nusa menjadi panik. Dengan secepat kilat, ia memutar kepalanya ke arah ekornya, sehingga air sungai itu mendesau. Ia mengira suara air yang mendesau itu adalah musuhnya. Tanpa berpikir panjang, ia pun menyerang dan menggigitnya. Namun, tanpa disadari, ia menggigit ekornya sendiri hingga terputus.
Pada saat itulah, Ikan Saluang segera memerintahkan semua teman-temannya untuk menggerogoti luka Naga Nusa. Naga Nusa pun semakin menjerit dan mengamuk. Tempat itu bergetar seolah-olah terjadi gempa bumi. Namun, kejadian itu tidak berlangsung lama. Tenaga Naga Nusa semakin lemah, karena kehabisan darah. Beberapa saat kemudian, Naga Nusa akhirnya mati.
Semua ikan yang ada di dasar Sungai Kahayan berdatangan memakan daging Naga Nusa hingga habis. Hanya kerangkanya yang tersisa. Lama kelamaan, kerangka tersebut tertimbun tanah dan ditumbuhi pepohonan. Tumpukan pepohonan itu kemudian membentuk sebuah pulau yang kini dikenal dengan nama Pulau Nusa.
Tolong “share” ke teman-teman yang lain agar mereka juga dapat memetik hikmah yang ada pada kisah di atas. Semoga dapat bermanfaat bagi kehidupan kita, terimakasih


Bercerita Bahasa Jawa
a.Ketentuan Teknis
1.Setiap peserta hanya menceritakan satu cerita dari 4 (empat) judul yang disediakan oleh panitia berdasarkan pilihan peserta.
2. Tanpa Pengeras Suara
3. Wajib membawakan cerita sesuai materi cerita dalam durasi waktu 5-6 menit
4.Pakaian dan perlengkapan disesuaikan dengan tema cerita
5.Kriteria Penilaian
- Sikap
a.Pakaian dan alat bantu menggunakan bahan - bahan yang ramah lingkungan dan disesuaikan tema cerita
b.Mimik wajah dan bahasa tubuh mencerminkan nilai dan karakter yang diusung oleh tema cerita
- Pengetahuan Kebahasaan
a.Tata bahasa,kosa kata,dan ungkapan dipilih dan digunakan dengan baik dan benar
b.Kalimat disampaikan dengan ucapan ,tekanan kata,dan intonasi yang baik dan benar
c. Komunikasi dengan audien dan juri terjalin secara komunikatif runtut dan lancar
- Ketrampilan Berkreasi
a.Kreativitas tampak dalam menafsirkan cerita
b.Kreatifitas tampak dalam mengembangkan isi cerita
c.Kreatifitas tampak dalam cara menyampaikan isi cerita

b. Materi Cerita
1. Asal Usulipun Rawa Pening
Ngasem menika nami dhusun ingkang kalebet wewengkon Kecamatan Ambarawa, Kabupaten Semarang. Kacariyos ing Ngasem wonten padhepokan kondhang. Sedaya puthut lan endhang sebatan kangge murid jaler lan estri sami mongkog manahipun pikantuk tuladha saking guru ingkang asma Ki Hajar Salokantara. Ki Hajar kagungan budi wicaksana. Dene muridipun nama Ni Endhang Ariwulan ingkang elok lan ayu.
Satunggaling dinten Ni Endhang bingung pados peso ingkang biyasanipun kangge nyigar pinang ingkang badhe dipuncawisake kangge sesajen wayah dalu. Kanthi ati kapeksa, piyambakipun matur dhateng Ki Hajar supados kersa ngampili peso. Ki Hajar kaget, nanging amargi sampun mepet wekdalipun, peso wau dipunparingaken kanthi wanti-wanti supados ngatos-atos lan sampun ngantos peso kaselehaken ing pangkon.
Nanging Ni Endhang kesupen. Peso kaselehaken wonten pangkonipun. Sanalika peso ical. Ni Endhang ngadhep Ki Hajar rumaos lepat, nanging ingkang dipunlapuri boten duka.
Sawetawis dinten, Ngasem geger amargi Ni Endhang Ariwulan nggarbeni. Ki Hajar Salokantara banjur dhawuh Ni Endhang ngadhep. Ki Hajar badhe tapa brata ing Redi Telamaya lan maringi pirantiawujud gentha utawa klinthingan ingkang badhe migunani kangge jabang bayi.
Boten dangu jabang bayi lair awujud naga. Nanging polahipun kados jabang bayi sanes, saged nangis lan ngucap. Wingka katon kencana, jabang bayi wau tetep dipunopeni kanthi asih tresna ngantos dewasa. Warga ingkang sumerep naga menika boten telas-telas anggenipun ngawon-awon.
Naga ingkang sampun dewasa kalawau ing satunggaling dinten nyuwun priksa dhumateng Ni Endhang, sinten sejatosipun bapakipun, Ni Endhang maringi priksa menawi Ki Hajar menika bapakipun ingkang saweg tapa brata ing Redi Telamaya.
Naga lajeng mbekta klinthingan, nusul ing Telamaya. Ni Endhang saking katebihan ngetutaken. Naga wau medal lepen ingkang dawa, leren ing ngandhap selo, ingkang samenika dipunwastani selo sisik lan nerasaken lampah ngambah rawa, salajengipun liwat Kaligung, lerem malih ing satunggaling selo ingkang nama Sela Gombak.
Boten kesupen naga wau ngginakaken klinthinganipun.Ingkang sami sumerep lan mireng klinthinganipun naga ingkang ngangge sumping menika lajeng marabi Baru Klinthingan utawi Baru Klinthing.
Saking dinten, wulan lan taun sampun dipunlangkungi, Baru Klinthing dereng saged manggihaken panggenanipun Ki hajar Salokantara. Malah samenika kendha boten gadhah daya. Nanging saking katebihan mireng kidung lamat-lamat kados kidungipun Ni Endhang Ariwulan.
Saking ketebihan Ni Endhang ngetutaken Baru Klinthing ingkang sampun manggihaken papanipun Ki Hajar Salokantara, lajeng manggen ing Sepakung. Ni Endhang mapan ing celak sendhang. Sendhang menika lajeng kasebat Sendhang Ari Wulana.
Ing pertapaan Telamaya, Ki hajar kaget mriksani naga ingkang dumugi lajeng manthuk-manthuk ngormati ing sangajengipun. Ki hajar pirsa menawi naga kalawau sanes naga ingkang ala, nanging naga ingkang gadhah manah becik. Naga wau lajeng matur dhumateng Ki hajar Salokantara. Saya kaget Ki Hajar, amargi boten nginten menawi naga wau saged wicanten.
Naga lajeng nyuwun pirsa, menapa leres menika dhusun Telamaya, pertapanipun Ki Hajar Salokantara. Ki hajar ngleresaken. Baru Klinthing bingah, lajeng matur menawi Ki hajar menika tiyang sepuhipun ingkang sampun dangu dipunpadosi ing paran. Boten kesupen Baru Klinthing lajeng sujud. Ki Hajar dereng pitados saestu, mila lajeng maringi pitakenan dhumateng Baru Klinthing sinten ibunipunlan saking pundi papan dunungipun. Baru Klinthing caos wangsulan  menawi ibunipun asma Ni Endhang Ariwulan saking Ngasem. Ugi boten kesupen Baru Klinthing nedahaken klinthingan tilaranipun Ki hajar Salokantara.
Ki Hajar ngendika menawi klinthingan menika dereng cekap, amarga ing donya menika boten wonten ingkang gampil, nanging kedah wonten lelabetan lan kedah wonten panebusanipu. Supados saged dipunanggep putranipun Ki hajar, Baru Klinthing kedah nglampahi laku tarak brata. Laku tarak brata menika mlungkeri Redi Kendhil ngantos tepung galang.Tanpa dipunmangertosi Baru Klinthing, Ki hajar ngetutaken saking wingking.Baru klinthing lajeng mlungkeri Gunung Kendhil ingkang dipundhawuhaken Ki Hajar, nanging sirah lan buntutipun boten tempuk, kirang sakilan. Pungkasanipun Baru Klinthing nyambung ngangge ilatipun. Ki Hajar lajeng medal mlumpat mungkes ilat menika.
Baru Klinthing kelaran nanging lajeng lerem manahipun. Ki Hajar maringi priksa menawi kekiranganipun boten saged dipuntutupi ngangge ilat, amargi ilat menika pusaka ingkang ampuh boten wonten tandhingipun. Ilat, jembare mung sawelat, nanging darbe khasiyat. Yen pinuju nuju prana, bisa amemikat, yen tan pener, bisa gawe getering jagad, “pratelane Ki hajar.
Baru Klinthing lajeng nerasaken tarak brata lan ilatipun kedamel pusaka ingkang awujud tombak Kyai Baru Klinthing
Dinten, wulan, lan taun sampun kawuri, badanipun Baru Klinthing ingkang mlukeri redi sampun boten ketingal. Ingkang ketingal namung suket lan wit-witan ingkang ageng ing wana. Ki Hajar lajeng manggihi Ni Endhang, maringi priksa supados Ni Endhang mapakaken putranipun Baru Klinthing ing Dhusun Pathok menika kanthi laku ngrame.Pathok dhusun ingkang gemah ripah loh jinawi, nanging warganipun boten gadhah raos syukur.
Wekdal menika warga Pathok nembe ngawontenaken pista panen raya. Salah satunggalipun warga ingkang badhe mecah woh pinang kangge campuran susur, anggenipun mecah dipuntataki wit ingkang sepuh lan cemeng sanget. Jebul kajeng wau badanipun naga ingkang nama Baru Klinthing.
Naga lajeng dipunkethok-kethok kangge pista. Boten kanyana-nyana sukma Baru Klinthing ngetutaken warga ingkang mantuk sarana njilma dados pemudha bagus, gagah nanging reged. Namanipun Jaka bandung. Nalika pista pemudha wau nyuwun pangan nanging dipunsingkang-singkang. Pungkasanipun pemudha wau malah dipunsukani piwulang dening mbok randha ingkang asma Ni Endhang Ariwulana. Sasampunipun nedha lan criyos, jaka kalawau nilar pesen menawi mangke wonten swanten gumuruh simbok kedah mlebet lesung mbekta enthong lan sangu saprelunipun
Jaka Bandung lajeng wangsul malih ing salebeting pistanipun para warga lan nyobi nyuwun tedhan malih.Nanging malah dipuntampik lan dipunisin-isin. Mila jaka nantang sinten ingkang saged njabut sada wau badhe dipunsembah ping pitu. Nanging boten wonten setunggal-setunggala ingkang saged.
Jaka bandung ingkang lajeng njabut sada wau. Sakala toya nyembur saking siti sakathah-kathahipun, njalari banjir bandhang ngelebaken dhusun saisinipun.
Siti ingkang katut amargi sada dipunjabut dipununcalaken mengaler lan malih rupi dados redi alit ingkang aran Gunung Kendhalisada. Semanten ugi dhusun ingkang keleb amargi lumebering toya tilas sada, lajeng dados tlaga ingkang bening toyanipun, ingkang katelah Rawa bening ingkan samenika kasebat Rawa Pening.

2.Pendhawa kembar
Hmmm… Kakang Kurupati menyang Ngamarta nggawa prajurit sagelar sapa-pan ana parigawe apa?” pita­kone Wrekudara marang keng raka.
“Lhoh..! Kok sajak mejanani temen. Apa netra panduluku sing pancen wis blawur. Wrekudara iki!?” pitakone Prabu Duryudana sajak kurang precaya.
“Isih pana kowe Kakang, aku Wreku­dara kang ana ngarepmu. Baliya me­nyang Ngastina, undurna kabeh wadya­balamu.”
“Waa wis kebacut tumeka kene je! Ora susah ngenteni Baratayuda. Ora idhep kowe kuwi Wrekudara apa iblis, bakune dina iki kudu sirna saka tanganku.”
“Majuwa, bakal dak ajangi apa kang dadi karepmu.”
Tetandhingan antarane Prabu Duryu­dana lan Dyan Wrekudara datan kena den selaki. Bledug ngampak-ampak sumun­dhul ngawiyat. Alun-alun Ngamarta kang dadi ajanging paprangan bosah-baseh ora karuwan. Suwarane wadyabala Kuru Kancana lan Ngamarta kang padha andon yuda sangsaya gawe horeging suwasana. Mulat sang Wisanggeni marang lumam­pahing paprangan. Gya mateg mantram sakti. Eling-eling Wisanggeni mono titah kang kinacek ing sesamane, mula gam­pang katrima kang dadi panyuwune. Eloking kahanan, prajurit saka Kuru Kan­cana cacah ewon kang ndherekake Prabu Duryudana nggecak perang Ngamarta sakala malih dadi roning waringin.
Kagyat Sang Duryudana, Dursasana, Tirtanata, Kartamarma apadene Patih Sangkuni. Legeg nyipati kahanan. Gya si­nawat ing angin sindhung riwut dening Raden Bratasena temah kabur kontal kongsi tumekan dhatu­laya praja Kuru Kan­cana. Ngreti Prabu Kurupati ken­dhang, Wisanggeni banjur mrayogakake para kadang nglurug me­nyang Kuru Kancana nglu­wari para pepun­dhen.
Prabu Duryudana sa­pendherek kang tiba gu­mebrug aneng dhatulaya tuhu gawe kagyate Prabu Darma Lelana sakadang. Prabu Duryudana ngen­dika sarwi nandukaken deduka merga rumangsa kena ing apus karma.
“Paduka sampun mir­sani piyambak, bilih wek­dal samenika Pandhawa taksih wonten ing pakun­jaran. Mokal menawi wek­dal samenika sam­pun wonten Ngamarta,” ngedikane Prabu Darma Lelana  sareh.
“Nanging nyatanipun sareng dumugi Ngamarta kula dipun papagaken dening Werkudara. Pra­mila kula suwun Prabu Darma Lelana sakadang kemawon ing­kang ngrampungi prekawis menika. Mangke sasampunipun sembada mbe­dhah Ngamarta merjaya pranakanipun, bumi Ngamarta didum sasigar semangka kemawon. Kula sepalih, dene Paduka ugi sepalih.”
“Yayi Guna Lelana, jeneng sira Yayi dak dhawuhi niliki kang sabanjure  nyo­wanake Pandhawa sing wektu dinane iki isih ana pakunjaran. Yen wus kasowanake ayo padha ditigas janggane ana alun-alun Kuru Kancana, murih enggal ilang kliliping ingkang sinuwun Duryudana.”
Kang kadhawuhan datan suwaleng kayun, gya nyuwun pamit mring pakun­jaran nganthi Pandhawa banjur kairit mring dhatulaya. Kedhep tesmak pandulune Pra­bu Duryudana nalika uninga para Pan­dhawa kang kasowanake isih kanthi ka­hanan dibanda astane.
“Waaa kahanan kok kaya mangkene, angel anggonku mikir. Sinuwun Darma Lelana, prekawis menika kula pasrahaken sawetahe dhateng Paduka. Kula pun mboten badhe tumut-tumut malih. Ing­­kang baken tumrap kula sakadang, Pan­dhawa dalah anak-anake kudu modar!”
“Menika dhawah gampil Sinuwun. Paduka mboten sisah rumagang ing kar­ya. Pejahipun Pandhawa sakukuban ka­pasrahaken kewala dhateng kula saka­dang,” dhawuhe Prabu Darma Lelana aga­we lejar penggalih Prabu Kurupati.
Nanging kedadak Raden Puja Lelana munggah ing sitinggil asung palapuran menawa Pandhawa Lima ngamuk pung­gung ing Kuru Kancana sarwi nyumbari Prabu Darma Lelana sakadang.
“Lhadalah, pripun yen ngaten niki? Estu ta ingkang dados ngendikanipun anak prabu Kurupati?” sumelane Patih Sengkuni. “Pandhawa ngamuk punggung ing alun-alun, lha lajeng sing dibanda niki sinten?”
“Paman Patih mboten sisah tumut-tumut, pun kersane dirampungi piyambak kaliyan Prabu Darma Lelana sakadang. Ingkang baken icaling klilip kula nenggih Pandhawa sakpranakane,” sumelane Pra­bu Duryudana.
“Para kadang kabeh, ayo bebarengan padha dipapagake kang lagi sesumbar ana alun-alun. Aja lali pandhawa kang wus dadi bandan iki digawa menyang pa­lagan pisan!” dhawuhe Prabu Dharma Lelana kanthi trewaca. Kang ana dhatu­laya Kuru Kancana sigra metu njaba ma­pagake tekane mungsuh. Sedaya datan ana kang katinggalan.
Tekan ngalun-alun kawistara Pandha­wa lima lagya mbegagah nyranti tekane Prabu Dharma Lelana sakadang.
“Para kadang kabeh,” Raden Wisang­geni bisik-bisik. “Eling-elingen kang dadi piwelingku, mangko kalamunta Pandha­wa sing dikongkon maju mapagake awake dhewe, aja padha diladeni…”
“Lho, Wisanggeni ki piye? Yen ora oleh diladeni rak padha karo nyorohake patine para kadang,” panyelane Antareja.
“Mengko dhisik ta. Durung rampung anggonku kandha. Bakune aja diladeni, mengko yen nganti para kadang tume­keng lalis, Wisanggeni kang bakal nang­gung sakabehe. Cukup sembahen kaping telu sinambi ngeningake netra batin nyenyuwun mring Hyang Manon kanggo miyak warana sapa sejatine kang kok adhepi. Wis, ngono kakang kang dadi pi­welingku. Aku tak ngawat-awati saka kadohan wae kakang,” Raden Wisanggeni banjur nggeblas lunga saka papan kono.
Tan pantara lama Prabu Darma Lelana sakadang wus prapta ing papan kono nganthi Pandhawa miwah Prabu Duryu­dana, Dursasana, Tirtanata uga Patih Sengkuni. Pirsa ing ngalun-alun uga ana Pandhawa cacah lima rumangsa gumun sang Duryudana.
“Sarehne sing mbarang amuk iku te­tirone Pandhawa, mula kareben Pan­dha­wa iki wae sing ngadhepi. Yayi Guna Le­lana, enggal luwarana bandane Pandha­wa, banjur dhawuhana maju pabaratan ngadhepi tetirone kae,” dhawuhe Prabu Darma Lelana marang keng rayi. “Pun Kakang bakal bali ha­nge­-dhaton, mangko samangsa-mangsa ana bebaya kang banget mutawatiri pun kakang aturana pirsa ya Yayi.”
Kang dhinawuhan sigra ngluwari ban­da­ne Pandhawa. Sabanjure Pandhawa kadhawuhan maju ing pupuh ngadhepi tetirone. Para putra Pandhawa kang lagi namur laku maksih eling marang pitung­kase Wisanggeni, mula majune Pandha­wa babar pisan ora digape. Sawise caket sigra kasembah kaping telu, sinartan donga panyuwun mring Hyang Manon mu­rih lebdeng karya. Kaelokaning jagad, Pandhawa kang nembe diluwari saka bebandane iku ilang wewujudane malih dadi gegaman kadewatan. Prabu Punta babar dadi Jamus Kalima Sada, Raden Wrekudara dadi Gada Rujak Pala, Dyan Janaka babar dadi Saratama, semono uga satriya kembar kemanikan dadiya san­jatanira sowang-sowang.
Prabu Duryudana nggragap mulat kaelokaning lelakon, sigra nggemprang mring kedhaton ngupadi Prabu Darma Lelana sakadang. Caos palapuran keda­deyan ing alun-alun.
Ing alun-alun, Raden Wisanggeni ban­jur mrepegi kadang-kadange maneh.
“ Para kadang, sanjata iku padha pun­dhinen. Kanggonen sangu ngadhepi Pra­bu Darma Lelana sakadang. Wis enggal majua maneh!”
Pandhawa tiron kang wus mandhe gegaman banjur nyumbari Prabu Darma Lelana sakadang. Panas talingane midha­nget swara panantang, wusanane Prabu Dharma Lelana sakadang kabiyantu Prabu Duryudana maju ing palagan. Saka pa­pane sesingid, Wisanggeni bali mateg mantram sakti. Dumadakan ana mega mangampak-ampak nglurupi praja Kuru Kancana. Ilanging mega bebarengan kalawan musnane praja Kuru Kancana kang pan­-cen dumadi mung karana cipta. Kraton saisine bali kadya sakawit dadi ara-ara Kurusetra kang jembar hangilak-ilak.
Tetandhingan antarane Pandhawa tiron mungsuh Darma Lelana sakadang lumaku imbang. Yen ditimbang padha abote. Durung ana tandha-tandha sapa sing bakal unggul lan sapa sing kasoran. Nanging suwe-suwe Prabu Darma Lelana sakadang keseser yudane. Mulat mung­suhe karoban lawan, ponang sanjata kang cinekel Pandhawa tiron arsa kata­mak­ake mring anggane Prabu Darma Le­lana sakadang. Ing kahanan kang mu­tawatiri mau Wisanggeni malumpat saka papane singidan niyat misah marang para kang lagi bandayuda. Mlumpate Wi­sanggeni bebarengan kalawan praptane jawata Suduk Pangudal-Udal, Resi Kaneka Putra kang nunggal niyat kalawan Wi­sanggeni nedya misah kang lagi rog bandawalapati.
“Bregenjong-bregenjong pak-pak pong waru dhoyong ditegor uwong. Waaaa…. padha kurang gaweyan iki. Bapak kok gelut mungsuh anak, ora lucu. Hayo bubar-bubaaar. Kuwi sing padha memba-memba gage lukar busana,” Dha­wuhe Resi Narada karo gumujeng.
“Weh kedhisikan Bathara Narada, mangka sakjane sutradharane aku he he he. Ya  wis ora dadi ngapa. Para ka­dang, cukupna semene anggonmu namur laku. Sajake wis kewiyak mungguh warananing lakon.”
Para Pandawa kang nyekel senjata mau banjur badhar sejatining wujud dadi para putra Pandhawa.
“Darma Lelana sakadang barang kuwi gage padha rucata! Apa dikira jeneng ulun ora pirsa sapa sejatine Darma Lelana sakadang kuwi?” ngendikane Bathara Na­rada.
“Iya Mbah, tuturana para pepundhen Pandhawa kuwi. Padha murca reka-reka dadi Prabu Darma Lelana sakadang mung gawe bingunging para garwa putra,” sumelane Raden Wisanggeni.
Sanalika badhar sejatining wujud Pra­bu Darma Lelana sakadang dadi Pan­dhawa lima. Prabu Duryudana sapendhe­rek kang rumangsa kewirangan banjur nggeblas ninggalke Tegal Kuru tanpa pamit.
“Sarawuh Paduka Pukulun Bathara Narada, sembah pangabekti kula konjuk,” ature Prabu Punta makili para kadang lan putra.
“Hiya Kaki Prabu Punta wus ulun tam­pa. Balik pudyastawaning Ulun muga ru­menthah mring Kaki Prabu sakadang lan para putra. Iki mau lagi ngapa, lha kok bisa pak karo anak padha gelut?”
“Nuwun sewu Pukulun, lekas kula sa­kadang namung badhe murungaken Ba­ratayuda. Menawi Ngamarta kula pa­srahaken dhateng kaka prabu Duryudana lan kula sakadang cekap wonten Kuru Kan­cana, tartemtu perang ageng jang­kaning jagad badhe wurung.”
“Sapa sing kandha? Bharatayuda tetep bakal dumadi, awit iku uga winastan perang suci. Perange watak sura mung­suh asura. Sanajan disrananana kaya nga­pa tetep bakal kelakon. Mung pitungkas Ulun, Pandhawa lima iku endhog sa­pe­tarangan ngibarate, mukti siji mukti ka­beh, mati siji liyane hangemasi. Mula ra­keting kekadangan kudu den jaga. Aja padha kemba nindakake saliring kadar­man kang anjog marang katentremane kawula dasih sawegung. Iki kang dadi pitungkas Ulun, raharja kang samya pi­nanggya, Ulun kondur kahyangan ngger,”  Bathara Naradha gya cumalorot ing akasa kondur mring Suduk Pangudal-Udal.
Para Pandhawa uga banjur kondur mring Ngamarta kadherekake para putra. Prapteng Ngamarta Raden Wrekudara gya njoget tayungan minangka tandha syukur konjuk mring Gusti Kang Maha­linangkung.
n (Tancep Kayon)

3.Jendral Inggris ing Palagan Suroboyo
Tokoh pertempuran telung dina (26-29 Oktober 1954) ing Surabaya. Saka kiwa (ngarep) Kol.Soengkono, Residen Soedirman, Gubernur Surio, ing baris no. 2, kiwa : Roeslan Abdulgani, Doel Arnowo (mburine Gubernur Surio).
 
KELAKONE wus 65 taunan kepungkur; cethane maneh dhek minggu pungkasan sasi Oktober 1945. Kira-kira jam lima sore ngono, Mas Martono karo aku medhun saka sepur ing stasiun Gubeng Surabaya. Aku sakloron dhek samana isih siswane Sekolah Guru Tinggi ing Jakarta. Miturut ujare Mas Ton, lagi ditugasi (embuh langsung embuh ora, aku ora miterang) dening Bung Hatta ngedegake Palang Merah Indonesia ing wilayah Jawa Timur.
Dhek jaman samana, wis dadi adat kelumrahan, manawa ana “tugas” saka Pe­mimpin, ora nate kita dadak takon: “Endi Surat Perintahe? Lha endi uang sakune? Njur numpak apa?”, lan pitakon liyane maneh sebangsane ngono mau.
Mas Ton mono bareng Ibukota Re­publik pindhah nyang Yogya njur dadi Ko­mandan Tentara Peladjar; lha sabanjure nate uga dadi Ketua Umum Himpunan Kaum Tani Indonesia, sarta dadi Menteri Transmigrasi).
Lha ya iku mau; saka stasiun Gubeng lenging ati nuju nyang Kantor Gubernur­an. Ning, rehning durung ngerti lor kidule kutha Surabaya, trem sing dak tumpaki dadak nuju nyang Sawahan. Lha iya ing sadalan-dalan katon ana barisan sing lagi baris; breg-breg-breg. Kabeh padha nye­kel gegaman dhewe-dhewe; komandane nyengkelit pedhang; malah ana uga sing nyandhang pistul barang.
Pikiranku wong loro njur tumuju nyang kahanane kutha Jakarta (dhek samana). Persasat saben dina serdhadhu Sekutu sing digoncengi NICA = Netherlands Indies Civil Administration, tansah nganakake terror, kekisruhan, kerusuhan, raja tatu, raja pati. Ora ming gawe onar kantor-kantor Republik bae, ning uga marang rakyat, kawula Cilik.
Yen si serdhadhu NICA pengin nem­bak uwong, ha iya nembak bae; pengin ngrampog duweke rakyat, ha iya diram­pog lawaran bae. Ora ana sing wani meng­gak, ora ana sing wani ngaru biru. Iya bener saben bengi sering ana suwara “siaaapppp!!”, tegese supaya para pen­duduk, mligine para mudha padha siyaga ngadhepi ontran-ontran sing arep di­ana­kake si NICA, ning suwening suwe per­lawanan ngadhepi serdhadhu Landa (ana sing kulit putih, ana sing sawo mateng, ana sing ireng) iki, pasukan rakyat saya mundur, mundur. Tekan Krawang, Bekasi, Tangerang, lan sakiwa tengene.
Satemene bae, bareng Jepang wis teluk, Tenno Heika pidato asrah bong­kok­an nyang Sekutu 15 Agustus 1945, pama­rentah Landa babarpisan wis ora nduweni apa-apa ngenani tilas jajahane sing dise­but Hindia­Walanda kae. Soale, iya wiwit 15 Agustus 1945 kuwi mau sing nguwa­sani bumi Nusantara ana pihak loro. Wi­layah Sumatera karo tanah Jawa dipas­rahake nyang pihak Inggris, sing diko­man­doni Lord Louis Mountbaten; lha sisa­ne maneh kayadene Kalimantan, Sulawesi sapengetan nganti tekan Papua dikuwa­sa­kake marang pimpinan-tertinggi ang­katan perang Australi, Jendral Sir Thomas A. Blamey.
Letjen van Mook sing dadi tetunggule pamarentah Landa ing bang Wetan sing rikala kuwi ngungsi nyang Australi, nate ngadhep nyang manggalaning Angkatan Perang Darat Amerika, ing wilayah Pasifik, jendral Douglas MacArthur ngenani pra­kara iki. Ning sang Jendral iki nampa tugas saka dhedhuwurane Joint Chiefs of Staff ing Washington, operasi militere ing daerah Hindia Walanda supaya mung di­arahake bisane ngrebut bali Tarakan (Kali­mantan) dalah Balikpapan sing sugih lenga-patra. Dene wilayah liyane dipasra­hake nyang pihak Inggris karo Australi.
Cethane maneh: MacArthur ora susah ngrebut bali pulo Jawa barang. Tiwas mbu­wang tenaga, nyawa, lan wektu bae. Kathik kudu nyedhiyakake peralatan, sing yektine wus cumpen. Pihak Inggris, sate­mene wegah nampa tugas ngurusi Suma­tra karo Jawa. Kejaba anak-buahe wis akeh sing sayah merga perang, wilayah mau dudu wilayahe, dudu tilas jajahane. Ora ana urusan apa-apa. Ha teka ditugasi dikon ngurusi.
Ning, ha ya jeneng Sekutu, gelem ora gelem ha hiya kepeksa nindakake tugas mau. Kelakon tanggal 29 September 1945 pasukan Inggris ndharat ing Tanjung Priuk. Komandane: Letjen Sir Philip Christison, mbawahake mayjen D.C. Hawthorn (kanggo Jakarta); Mayjen A.W.S. Mallaby kanggo Surabaya, lan mayjen H.M. Chambers kanggo Medan.
Lha iya rikala ndharat ing Priok iki, di­goncengi pihak Landa; dumadi saka KL karo KKIL, dalah pemerintah sipile pisan.
 (Mobil sing ditumpaki Brigjen Mallaby kobong ing sacedhake gedhong Internaio, Surabaya (20 Oktober 1945).
 Ing Surabaya, Inggris ndharat tanggal 25 Oktober 1945, kekuwatane 6.000 jurit, komandane: Brigjen A.W.S. Mallaby. Ugal-Ugalan, dadak njur nyebar surat selebar­an, isine prentah amrih rakyat Indonesia padha masrahakake gegaman sing didar­beni nyang pihak Inggris. Terus ngluwari para tawanan Landa ing Kalisosok tanpa izine pihak Indonesia. Suwasana njur dadi tegang. Pihak Indonesia nulak mentah-mentah.
Iya ing ndalem situasi sing tegang ngono mau, tekaku wong loro dhek sa­mana ing Surabaya. Kakangaku, Djoko Utomo sing manggon ing papilyun. Kantor Gubernuran ngandhani aku wong loro, manawa saiki iki Surabaya lagi tegang; serdhadhu Inggris ubel-ubel (sing tembe­ne katelah serdhadhu Gurkha) wis wiwit gawe propokasi. Baris urut kacang siji­siji karo nyangga bedhil, mripate pendirang­an ngiwa nengen sajak nyujanani saben uwong sing dipethuki.
Embuh sapa sing miwiti, dumadakan bae keprungu suwarane mimis pating jle­dhor, saut-sautan. Pertempuran wis ke­lakon pecah.
Sajake persatuane rakyat mula wis gilig gumolong dadi siji. Sanyari bumi, sa­dumuk bathuk, ditohi pati, pecating nyawa sarta wutahing ludira.
Aku weruh Mas Ton ha teka iya njur entuk bedhil, melu campuh ing yudha. Per­tempuran sewengi natas; lha esuke bedhil-bedhilan katon rada mendha. Njur awane ngono, —iya ing Kantor Gubernur­an, aku weruh Bung Karno, Bung Hatta karo Menteri Penerangan Amir Syarifuddin rawuh. Dibarengi sawatara opsir Inggris.
Sawatara taun sawise kuwi, aku lagi ngerti, yen rikala kuwi pihak Inggris ke­seser ing pupuh. Malah-malah tembene Bung Tomo aweh keterangan manawa Inggris sing ana gedhong Internatio, kabeh-kabeh bakal mati kobong, yen ta Bung Karno karo Bung Hatta ora enggal teka Surabaya.
Soale, bareng Inggris ngrumangsani yen serdhadhu Gurkhano bakal akeh sing mati kobong banjur njaluk tulung nyang Bung Karno karo Bung Hatta supaya ker­soa nengahi pertempuran mau.
Priyagung loro dikantheni Menpen, karo sawatara opsir Inggris sing dadi peng­hubung, terbang nyang Surabaya. Saka ngisor ditembaki rakyat; njur saka radio keprungu suwarane Bung Tomo: ”Aja ditembak dulur-dulur. Mengko bae, yen wis ana ngisor kita serbu!”. Kalakon pesawat ndharat kanthi slamet.
Lan rakyat banget gawok dalah suka sukure dene sing metu katon Bung Karno, Bung Hatta karo priyagung sijine maneh sing isih durung patia dikenal (Iya Mr Amir Syarifuddin kuwi, sing dhek jaman Jepang diukum selawase urip ana kunjaran Lowok­waru, Malang).
Sing ngedab-edabi maneh, —miturut- keterangane Cak Roeslan Abdulgani, dhek samana Bung Karno ngasta gendera Merah-Putih, dikibarake ana ngarape para opsir Inggris mau. Metu saka lapangan ter­­bang opsir Inggris njaluk dikawal pa­sukan Indonesia, merga kuwatir yen bakal diserbu jalaran lapangan terbang mula iya wus dikepung pasukan pemuda Indonesia.
Rombongan tekan Kantor Gubernur; katon mayjen Mallaby, Gubernur Suryo, tokoh-tokoh liyane, uga jurubasa tuan Kundan, pedagang India sing simpati nyang gerakan kamardikan Indonesia. Iya prastawa iki sing dakweruhi karo Mas Ton. Wong loro saka Jakarta babarpisan ora nate ngira yen bakal dadi seksi sejarah.
Kerampungane rundhingan pertem­pur­­an dilereni sawise telung dina tembak-tembakan.
Terus didhapuk: Kontakbiro sing dadi sarana sesambungan antarane pihak Republik karo pihak Inggris.
Tanggal 30 Oktober esuk rombongan Presiden Soekarno kondur nyang Jakarta sarana nitih sepur. Lha bareng sorene, iya isih tanggal 30 Oktober mau ana pras­tawa sing gawe gendra temenan.
Mayjen Mallaby diwartakake tiwas, rikala lagi (arep) dianakake rundhingan an­tarane Kontakbiro karo pasukan Gur­kha/Inggris sing ana gedhong Internatio.
Sajrone sejarah Inggris, iya lagi sepisan ji iki, ana jendral Inggris sing nganti kapracondhang ing yuda; gugur, tiwas ing peperang­an. Gugure ana kutha Surabaya. Sura-ing-baya.
Gugure Mallaby mujudake berita-jagadan; sumebar ing saindenge donya sarta gawe nepsune pimpinan tertinggi
 (Kekendelane arek-arek Surabaya ngusir penjajah sing nuwuhake anane Hari Pahlawan 10 Nopember 1945 “Merdeka atau Mati)
Angkatan Perang Sekuthu ing pulo Jawa, Jendral Christison. Minangka gantine Mallaby ditamtokake Mayjen E.C. Man­sergh, sing ing sabanjure ngetokake ultimatum/pangancam marang rakyat Sura­baya kabeh bae. Isine supaya ing wektu sing wis ditamtokake padha masrahakake sakehing gegaman sing didarbeni nyang pihak Inggris. Ora gegaman sing rupa bedhil pistol bae, ning uga klewang, keris, peso lipat lan sejenise maneh.
Kabeh-kabeh kudu ditindakake sadu­runge tanggal 10 Nopember 1945. Wus mesthi bae, ultimatume Mansergh mau ora digubris dening pamarentah propinsi Jawa Timur kanthi gubernure Raden Pandji Suryo, sing dibantu dening mayjen Sungkono, residen Surabaya Sudirman, walikota Pamudji, Roeslan Abdulgani dalah barisan pemuda sarta barisan buruh liyane sing wis gumolong dadi siji: ngan­dhemi kamardikane bumi Pertiwi, Re­publik Indonesia.
Sapa bae  dhek samana sing ana, ya? Pemerintahan Propinsi Jawa Wetan, pa­ma­rentahan karesidenan dalah kutha Su­ra­baya, Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Pulisi, Pemuda Republik Indonesia (PRI), Barisan Pembrontak Rakyat Indonesia (BPRI), Laskar Buruh lan isih akeh maneh tunggale. Kabeh-kabeh emoh, ora sudi nu­ruti karepe si Inggris sing sawenang­ wenang.
Tanggal 9 Nopember 1945 jam 21.00 Gubernur Surio pidato nyang ngarep corong radio; ditujokake marang rakyat Jawa Wetan kabeh, mligine kawula ing Surabaya, ngenani situasi sing diadhepi saiki iki. Terus dianakake hubungan karo Bung Karno ing Jakarta. Terus karo Menlu Ahmad Soebardjo. Tanpa kasil apa-apa. Jam 22.10 Gubernur Surio pidato maneh, nerangake manawa Pimpinan Pemerin­tahan ing Jakarta masrahake situasi Sura­baya marang rakyat dhewe. Dadi, ter­serah nyang kita dhewe.
“Ayo saiki nenuwun marang GustI Kang Maha Kuwasa amrih kita kabeh oleh kekuwatan lair batin dalah rahmat sarta taufiq ing ndalem perjuangan. Selamat       berjuang!”.
Mangkono kurang luwih pidatone Gu­bernur Surio kanthi tenang, wijang, tegas sarta manteb. Laras karo watak wantune priyagung sing pepake asma: Raden Adi­pati Ario Surio iki. Sajam sadurunge ulti­matume Mansergh entek wektune.
Esuke: 10 Nopember 1945 pecah per­tempuran ing Surabaya, ngandhemi Re­publik. Dikira Inggris bisa nguwasani kutha mau sajrone seminggu, ning nyata­ne lagi 3 minggu Surabaya lagi kena di­atur­ake: jatuh ke tangan musuh…


4.Kancil Lan Merak
Merak pancen seneng macak. Mula tansah nengsemake. Wulune katon edi, gawe resep kang padha nyawang. Mula ora sithik tangga-teparo padha mara nyang omahe Merak saperlu sinau ngadi busana lan ngadi salira.“Aku pengin supaya bisa nduweni sandhangan wulu kaya kowe, Rak,” ujare Kancil marang Merak.“Sandhangan wulu kang tememplek ing awakku iki paringane Gusti Kang Akarya Jagad. Aku mung tinanggenah ngrumat lan njaga supaya tetep katon endah,” wangsulane Merak kanthi sareh. “Anggonku seneng dandan lan ngupakara kaendahan iki mung wujud rasa syukurku marang Gusti!” bacute tanpa linandhesan rasa umuk.“Supaya wuluku bisa dadi kaya wulumu, piye carane?” pitakone Kancil.
“Tangeh lamun, Cil! Aku-kowe ki mung saderma nglakoni. Apa kang dadi peparinganing Pangeran kudu tinampa kanthi ati segara,” wangsulane Merak. “Karo maneh kabeh sing tememplek ana saranduning badan iki, mesthi piguna marang awake dhewe. Kang ana ing aku ora durung mesthi ana ing kowe, semono uga kosok baline, Cil. Wulu soklatmu kuwi mesthi piguna tumrapmu!”
Nanging Kancil sajak kemeren nyawang kaendahan wulune Merak. “Piguna apa?” Sawise megeng napas sawetara banjur nggrundel, “Senajan piguna, nyatane wuluku letheg! Aku luwih bungah yen wuluku bisa kaya wulumu! Saben kewan ora sebah nyawang!”“Kuwi rak mung saka panggraitamu dhewe. Nanging ora kok, Cil!” sahute Merak. “Sebab saben kewan ginaris dhewe-dhewe! Uga bab wulu! Wulu-wuluku kaya ngene, wulu-wulumu kaya ngono, wulune Macan, wulune Gajah, lan sato kewan liyane ora ana sing padha!”
Senajan akeh-akeh Merak anggone ngandhani, nanging ora bisa mbendung pepenginane Kancil nduweni wulu kaya wulu Merak. “Sakarepmu anggonmu kandha, Rak! Mung aku njaluk tulung supaya aku bisa nduweni wulu kaya kowe!” kandhane Kancil setengah meksa.
Merak gedheg-gedheg gumun karo kekarepane Kancil. “Saupama bisa, terus mengko kowe dadi kewan apa?” pitakone Merak.“Kewan apa wae terserah sing arep ngarani! Mung kira-kira bisa ta, Rak?” pitakone Kancil ngoyak, ora sabar.“Bisa wae, nanging mung imitasi! Pasangan!”“Ora masalah!” Kancil bungah. “Ndang dipasang!” panjaluke kesusu.“Ya sabar, Cil! Aku kudu nglumpukake bodholane wuluku lan wulu-wulune wargaku.”“Terus kapan?”“Udakara rong mingguan.”“Tak tunggu, Rak, ujare Kancil banjur nerusake lakune. Merak mung nyawang kanthi mesem, “Cil, Kancil. Yen duwe kekarepan kok ngudung, tanpa metung tuna lan bathine. Kudu tak udaneni kekarepane, ngiras kanggo menehi piwulang marang dheweke.”Tekan dina sing dijanjekake, esuk uthuk-uthuk Kancil
wis tekan omahe Merak. “Piye, Rak? Iki
wis rong minggu!”
“Beres!” jawabe Merak karo nata wulu-wulu sing
wis diklumpukake, “Gilo! Wulu-wulu
wis mlumpuk, malah
wis dakdhewek-dhewekake! Wulu awak, wulu swiwi, wulu buntut, aku uga
wis golek tlutuh wit karet barang minangka kanggo nemplekake ing badanmu!”

Wis gek ndang dipasang nyang awakku!” ujare Kancil karo lungguh dhingklik sacedhake Merak.
Merak banjur ngoser-oseri kabeh kulite Kancil nganggo tlutuh karet. Bareng kawawas
wis ora ana sing keri, baka siji Merak nemplekake wulu-wulu nut karo kebutuhane. Wulu gulu ditemplekake ing gulu, wulu awak ing awak, wulu sikil ing sikil, dene wulu buntut uga dipasang ing buntute Kancil.
Sedina natas, kabeh wulu
wis kapasang ing kulite Kancil.
“Rampung, Cil,” ujare Merak mesem. “Kae ana pengilon, ndang ngiloa!”Kancil banjur ngilo. Weruh kahanan awake, dheweke mongkog, “Iki sing dakkarepake!” celathune. “Aku bakal dadi salah sijining kewan kang paling endah!”“Bener kandhamu, Cil. Tur ora ana sing madhani!” Merak mbombong. “Mung aja nganti kaendahan mau malah ngreridhu lakumu,” bacute ngelingake.“Ngreridhu piye? Wong apike kaya ngene kok ngreridhu.”“Lho, wulu-wulu kuwi mung templekan. Cetha bakal ngebot-eboti awakmu!”Kancil ora nggagas, malah gage pamitan. “
Wis, Rak. Aku pamit! Lan nedha nrima awit saka kabecikanmu, aku selak pengin mamerke kahananing awakku saiki!”
“Sing ati-ati, Cil,” kandhane Merak karo nguntapake Kancil metu saka omahe.Metu saka platarane Merak, Kancil mlaku lon-lonan. Bokonge digidal-gidulake, pamrihe supaya bisa mamerake wulune kang apik tur edi. Saben ketemu sato, Kancil tansah mesem karo aruh-aruh sombong. Dene sing diaruhi uga genti mesem, mung eseme esem geli. Geli amarga weruh kahanan kang ora lumrah. Nanging tumrap Kancil esem mau tinampa beda, “Kabeh kewan padha kesengsem lan kepincut karo aku,” ujare jroning ati.Nanging sengsem, edi, lan endah mau ora suwe. Bareng tlutuh karet mau garing, kulite Kancil dadi kaku nyekengkeng. Akibate sikil, gulu, lan buntute angel diobah-obahake. Kancil mung bisa njegreg ngececer, ora bisa lumaku.“Tulung! Tulung! Tuluuung!” pambengoke sabisa-bisane.“Ana apa, Cil?” pitakone Merak krungu pambengoke Kancil.“Gage tulungana aku, saranduning badanku angel diobahake!”“Kabeh wulu sing nemplek ing awakmu kudu dicopot kabeh, kowe gelem?”“Gelem, Rak!” ujare Kancil nglenggana marang apa sing
wis dilakoni. Dheweke eling menawa kabeh paringane Gusti mono kudu tansah disyukuri. Apik, edi, lan endah tumraping sesawangan kadhang bisa ngganggu utawa mbilaheni.

Alon-alon, Merak mbubuti wulu sing
wis kebacut kraket ing awake Kancil. Senajan ngrasakake perih amarga sebagian kulite ana sing katut thethel, Kancil mung mringis-mringis karo ngempet lara. Ora sambat. Ndhadha tumindake kang salah merga mung nuruti karepe dhewe, tanpa metung tuna lan bathine.


4. Kejuaraan
1.Setiap jenis lomba akan diambil Juara 1 Juara II dan juara III
2.Setiap juara akan mendapatka piala,piagam,dan dana pembinaan

5.Pendaftaran Lomba 
Ke Seksi Pengendalian Mutu Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kabupaten Pati paling lambat 9 November 2015 pada jam kerja

6.Lain-lain
a.Pengumuman hasil Lomba disampaikan oleh dewan juri dan disampaikan setelah lomba selesai
b.Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat
c.Masing-masing peserta tampil sesuai dengan nomor urut undi
d.Pengundian peserta dilakukan sebelum lomba dimulai

Demikian edaran lomba ini disampaikan untuk diikuti dan atas partisipasinya kami ucapkan terima kasih.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten pati
Drs.Sarpan,SH.MM.
Pembina Utama Muda Nip.19580222 197701 1 002



Tags:

0 Responses to “LOMBA APRESIASI SASTRA SD;MI TINGKAT KABUPATEN PATI TAHUN 2015”

Posting Komentar

Subscribe

Donec sed odio dui. Duis mollis, est non commodo luctus, nisi erat porttitor ligula, eget lacinia odio. Duis mollis

© 2013 APPILAJARA. All rights reserved.
Designed by SpicyTricks